Perencanaan PPh

|
Perencanaan pajak PPh pasal 21, PPh pasal 26, dan PPh Badan.

1. Perencanaan Pajak PPh pasal 21/26

Dalam pelaksanaan penghitungan, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh 21 dan pasal 26 adalah keputusan Dirjen Pajak nomor KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desembar 2000 dan telah diubah terakhir dengan PER-15/PJ./2006 tanggal 23 Februari 2006, tentang petunjuk pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi atau disingkat menjadi “petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26”.

a. Pemotong PPh pasal 21

1) Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dan bukan pegawai.

2) Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

3) Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun dalam rangka pensiun.

4) Perusahaan, badan, dan BUT yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

5) Yayasan, lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi masa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya sebagai pembayaran gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.

6) Penyelenggaraan kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

b. Subjek pemotongan PPH pasal 21/26

1) Karyawan tetap.

2) Penerima pensiun.

3) Pegawai tidak tetap/pemagang/calon pegawai/ direct selling.

4) Pihak-pihak yang menerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak dihitung atas dasar banyaknya hari yang digunakan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan tersebut, seperti pemain musik, olahragawan, pengarang dll.

5) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

6) Penerima uang pesangon, uang tebusan pensiun THT atau JHT yang dibayar sekaligus.

7) Pejabat negara, warga negeri sipil, dan anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium yang sumber dananya berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah.

8) Wajib pajak luar negeri yang menerima imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, kegiatan.

c. Objek PPh pasal 21

1) Penghasilan yang sifatnya teratur seperti gaji, uang pensiun bulanan, penghasilan yang melekat pada gaji, tunjangan, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja.

2) Penghasilan yang sifatnya tidak teratur seperti jasa produksi, tunjangan cuti.

3) Upah baik yang dibayar harian, mingguan, satuan, maupun borongan.

4) Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua, tunjangan hari tua, uang pesangon.

5) Honorarium, uang saku, hadiah, penghargaan, komisi, bea siswa.

6) Imbalan lain-lain yang diterima oleh pengawas, panitia, peserta sidang/rapat, tenaga lepas.

d. Non objek PPh pasal 21

1) Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

2) Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan.

3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.

4) Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.

5) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

e. Kebijakan Perencanaan Pajak atas PPh pasal 21

Kebijakan PPh Pasal 21 dapat diterapkan dalam pelaksanaan perencanaan pajak melalui tiga cara, yaitu:

1) PPh pasal 21 ditanggung oleh karyawan.

Dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terhutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri sehingga benar-benar mengurangi penghasilan.

2) PPh pasal 21 ditanggung perusahaan.

Dalam hal ini, jumlah Pasal PPh pasal 21 yang terhutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya PPh pasal 21. PPh pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

3) PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan.

Jika PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan kemudian baru dikenakan PPh pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan dengan cara gross up dimana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh pasal 21 terhutang untuk masing-masing karyawan. Sepintas lalu kebijakan PPh pasal 21 jenis ini akan terlihat memberatkan perusahaan karena jumlah penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun demikian beban perusahaan tersebut akan tereliminasi karena PPh pasal 21 dapat dibiayakan.

2. Perencanaan pajak PPh pasal Badan

a. Pemotong PPh Badan

1) Badan pemerintah.

2) Subjek pajak badan dalam negeri.

3) Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.

4) Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang ditunjuk Dirjen Pajak, diantaranya akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas, orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

b. Subjek pajak PPh badan.

1) Wajib pajak dalam negeri.

2) Bentuk usaha tetap (BUT).

3) Wajib pajak luar negeri (WPLN).

c. Objek pajak PPh Badan.

1) Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.

2) Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.

3) Penyertaan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang belum dipotong PPh 21.

  1. Kebijakan Perencanaan Pajak badan

Perencanaan pajak dalam rangka mengefisienkan PPh badan dapat diupayakan melalui:

1) Pemilihan alternatif dasar pembukuan dan tata cara pembukuan.

Dasar pembukuan yang diakui oleh dirjen pajak adalah basis akrual (accrual basis) dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis).

Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya kewajiban, meskipun uangnya belum diterima atau dibayar.

Basis kas yang diakui oleh dirjen pajak bukan basis kas murni. pada basis kas murni, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Pemilihan dasar pembukuan harus dilakukan secara konsisten.

Basis kas yang diakui oleh dirjen pajak atas pelaporan pendapatan dan biaya dalam rangka menghitung PPh badan sebagai berikut:

§ Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan.

§ Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.

§ biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar.

2) Pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan karyawan.

Pada biaya-biaya yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan karyawan terdapat banyak peluang untuk melakukan efisiensi PPh badan. Strategi utama efisiensi PPh badan yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan sangat tergantung dari kondisi perusahaan.

Peluang-peluang efisiensi beban pajak yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan adalah biaya yang berkaitan dengan:

a) PPh pasal 21 karyawan.

§ Pengobatan/kesehatan karyawan.

§ Pembayaran premi asuransi untuk pegawai.

§ Iuran pensiun dan jaminan hari tua yang dibayar oleh perusahaan.

§ Transportasi untuk keryawan.

§ Pakaian perusahaan untuk karyawan

§ Perjalanan dinas.

§ Pemberian nature di daerah terpencil.

3) Pemilihan metode Penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak berwujud.

4) Penyertaan pada perseroan terbatas dalam negeri.

Penyertaan modal saham pada perseroan terbatas dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, maka deviden yang diperoleh perorangan tersebut dikenakan PPh pasal 23, apabila modal saham atas nama PT, koperasi, BUMN, dan BUMD maka penerimaan deviden tersebut bukan objek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan:

§ Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan

§ Bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima deviden, kepemikan saham pada PT badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari modal yang disetor dan mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut diatas (pasal 4 ayat 3 huruf f UU No. 17/2000).

5) Pengajuan penurunan lump sum PPh pasal 25.

Kenaikan pembayaran lump sum PPh pasal 25 disebabkan terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) karena pemeriksaan untuk tahun lalu, dan adanya kenaikan laba pada tahun lalu.

Akan tetapi, dilain pihak bisa saja terjadi bahwa dalam tahun pajak yang bersangkutan terjadi penurunan laba. Apabila kita mengangsur PPh pasal 25 seperti tahun lalu dikhawatirkan pada akhir tahun berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Untuk mengatasi hal ini, pada bulan juli tahun yang bersangkutan perusahaan dapat mengajukan permohonan penurunan lump sum dengan disertai proyeksi laba pada akhir tahun dan alasan terjadinya penurunan laba.

6) Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh pasal 22 dan PPh 23.

Tidak ada komentar: